Korupsi Kuota Haji 2024, Ketua KPK: Penetapan Tersangka Hanya Soal Waktu

Jakarta, Senin 06 Oktober 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mendalami dugaan kasus korupsi kuota haji tahun 2024. Meskipun begitu, penetapan tersangka kasus yang merugikan negara sekitar 1 triliun itu hanya masalah waktu saja.

Hal ini disampaikan Ketua KPK Setyo Budiyanto jika penetapan tersangka terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024 hanya soal waktu. Dia menegaskan, penyidik masih membutuhkan waktu untuk melengkapi berkas dan memanggil saksi.

“Ya itu kan relatif masalah waktu saja ya, saya yakin penyidik masih ada yang diperlukan untuk melengkapi pemberkasannya atau penyidikannya, (kalau) masalah lain saya lihat enggak ada,” kata Setyo di Kementerian Hukum, Jakarta, Senin (6/10/2025) dikutip Kompas.com.

Setyo mengungkapkan jika tak ada kendala lain bagi KPK dalam menetapkan tersangka. Para penyidik saat ini masih mempelajari beberapa dokumen yang diterima dari hasil pemeriksaan saksi.

“Yang saya masih melihat, mereka (penyidik) masih melakukan proses pemanggilan dan kalau orangnya hadir dilakukan pemeriksaan kemudian mempelajari beberapa dokumen yang sudah diterima. Soal waktu saja kok,” jelasnya.

Untuk diketahui, KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Pada tahun itu, Indonesia mendapatkan tambahan kuota sebanyak 20.000 dari Pemerintaah Arab Saudi yang diduga terdapat penyelewengan dalam pembagian kuota tambahan tersebut.

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.

Berarti 92 persen dari 20.000 kuota haji reguler seharusnya mendapatkan 18.400 kuota sedangkan 8 persen sisanya yakni 1.600 kuota untuk haji khusus. Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama.

“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi malah dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.

“Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” pungkasnya.