Pemerintah Terapkan Kebijakan Devisa Hasil Ekspor 100 Persen, Ditargetkan Berlaku 1 Maret 2025

JAKARTA, 22 JANUARI 2025 – Pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) secara menyeluruh, dengan kewajiban penempatan sebesar 100 persen untuk periode satu tahun.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah insentif untuk mendukung kebijakan tersebut. Salah satu insentif utama adalah tarif Pajak Penghasilan (PPh) 0 persen atas pendapatan bunga dari instrumen penempatan DHE. Sebelumnya dikenakan tarif pajak sebesar 20 persen.

“Pemerintah dan BI mempersiapkan fasilitas berupa tarif PPh 0 persen atas pendapatan bunga pada instrumen penempatan DHE. Ini menjadi insentif bagi eksportir untuk menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri,” ujar Airlangga.

Airlangga juga memaparkan mekanisme pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh para eksportir dalam mendukung kebutuhan bisnis mereka. Salah satunya adalah penggunaan instrumen penempatan DHE sebagai agunan kredit rupiah melalui skema back-to-back dari bank maupun Lembaga Pengelola Investasi (LPI).

“Eksportir dapat menggunakan instrumen penempatan DHE sebagai agunan kredit untuk kebutuhan rupiah di dalam negeri. Selain itu, instrumen ini akan dikecualikan dari batas maksimal pemberian kredit (BMPK), sehingga tidak memengaruhi gearing ratio atau rasio utang terhadap ekuitas perusahaan,” jelas Airlangga.

Selain itu, eksportir yang membutuhkan rupiah untuk operasional dapat memanfaatkan skema swap melalui perbankan atau melakukan foreign exchange swap antara bank dan Bank Indonesia (BI). Dalam mekanisme ini, eksportir dapat mengonversi valuta asing (valas) DHE menjadi rupiah melalui swap jual BI.

“Foreign exchange swap memungkinkan eksportir mengalihkan valas yang dimiliki menjadi rupiah untuk kebutuhan usaha dalam negeri,” tambah Airlangga.

Pemerintah juga memberikan fleksibilitas kepada eksportir dalam menggunakan valas untuk keperluan seperti pembayaran pungutan negara, pajak, royalti, dan dividen. Valas yang digunakan untuk kebutuhan tersebut akan dihitung sebagai pengurang kewajiban penempatan DHE.

“Penggunaan valas ini akan memudahkan eksportir dalam menjalankan operasional sekaligus tetap memenuhi kewajiban penempatan devisa,” kata Airlangga.

Untuk memastikan implementasi kebijakan berjalan lancar, pemerintah akan segera merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021. Revisi ini ditargetkan berlaku mulai 1 Maret 2025. Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, dan bea cukai sedang mempersiapkan sistem pendukungnya, dengan rencana sosialisasi yang akan dilakukan kepada para pemangku kepentingan.

“Kami akan memastikan kebijakan ini terlaksana dengan baik, melalui dukungan dari BI, OJK, dan institusi lainnya. Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat perekonomian nasional melalui optimalisasi DHE,” pungkas Airlangga.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah insentif untuk mendukung kebijakan tersebut. Salah satu insentif utama adalah tarif Pajak Penghasilan (PPh) 0 persen atas pendapatan bunga dari instrumen penempatan DHE, yang sebelumnya dikenakan pajak sebesar 20 persen.

“Pemerintah dan BI mempersiapkan fasilitas berupa tarif PPh 0 persen atas pendapatan bunga pada instrumen penempatan DHE. Ini menjadi insentif bagi eksportir untuk menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri,” ujar Airlangga.

Airlangga juga memaparkan mekanisme pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh para eksportir dalam mendukung kebutuhan bisnis mereka. Salah satunya adalah penggunaan instrumen penempatan DHE sebagai agunan kredit rupiah melalui skema back-to-back dari bank maupun Lembaga Pengelola Investasi (LPI).

“Eksportir dapat menggunakan instrumen penempatan DHE sebagai agunan kredit untuk kebutuhan rupiah di dalam negeri. Selain itu, instrumen ini akan dikecualikan dari batas maksimal pemberian kredit (BMPK), sehingga tidak memengaruhi gearing ratio atau rasio utang terhadap ekuitas perusahaan,” jelas Airlangga.

Selain itu, eksportir yang membutuhkan rupiah untuk operasional dapat memanfaatkan skema swap melalui perbankan atau melakukan foreign exchange swap antara bank dan Bank Indonesia (BI). Dalam mekanisme ini, eksportir dapat mengonversi valuta asing (valas) DHE menjadi rupiah melalui swap jual BI.

“Foreign exchange swap memungkinkan eksportir mengalihkan valas yang dimiliki menjadi rupiah untuk kebutuhan usaha dalam negeri,” tambah Airlangga.

Pemerintah juga memberikan fleksibilitas kepada eksportir dalam menggunakan valas untuk keperluan seperti pembayaran pungutan negara, pajak, royalti, dan dividen. Valas yang digunakan untuk kebutuhan tersebut akan dihitung sebagai pengurang kewajiban penempatan DHE.

“Penggunaan valas ini akan memudahkan eksportir dalam menjalankan operasional sekaligus tetap memenuhi kewajiban penempatan devisa,” kata Airlangga.

Untuk memastikan implementasi kebijakan berjalan lancar, pemerintah akan segera merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021. Revisi ini ditargetkan berlaku mulai 1 Maret 2025. Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, dan bea cukai sedang mempersiapkan sistem pendukungnya, dengan rencana sosialisasi yang akan dilakukan kepada para pemangku kepentingan.

“Kami akan memastikan kebijakan ini terlaksana dengan baik, melalui dukungan dari BI, OJK, dan institusi lainnya. Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat perekonomian nasional melalui optimalisasi DHE,” pungkas Airlangga.